GV Essay Competition: Submissions from East Asia

Just Say No - By Jillian York

By Jillian York

As part of the 2015 GV Summit, we invited our community members and partners to write essays that explain and illuminate the real-world effects of an Internet-related policy on citizens in a specific country or region. The goal of this competition was to amplify the voices and perspectives of our community and to help show the world the effects of law and practice, and that they did. You can read the winning entries here.

Below are all essay submissions that focused on East Asia. Enjoy!

DANIEL PANDOW IDOHAPE – INDONESIA

Analisa singkat mengenai Cybercrime di Indonesia

Analisa singkat mengenai Cybercrime di Indonesia
Oleh : Daniel Pandowo

Kalau berbicara mengenai perkembangan suatu kemajuan teknologi, tentu sepintas yang ada dalam benak semua halayak orang adalah Internet. Dalam hal ini perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini telah menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan
kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia sekaligus menjadi sarana efektif untuk tindak kejahatan. Salah satu bentuk
kejahatan yang sangat meresahkan dan mendapat perhatian berbagai kalangan, karena perkembangannya yang pesat dan dampak negatifnya yang luas dan
berbahaya adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan, yaitu cyberporn. Permasalahan ini mendapat perhatian serius dari dunia internasional, yaitu dengan
adanya The first World Congress Against Commercial Sexual Exploitation of Children, Stockholm, 27 – 31 Agustus 1996 dan International Conference on
“Combatting Child Pornography on the Internet”, Vienna, Hofburg, pada tanggal 29 September – 1 Oktober 1999.

Di dunia maya sudah sangat penuh dengan bahan-bahan pornografi atau yang berkaitan dengan masalah seks, menurut perkiraan 40% dari berbagai situs di WWW menyediakan bahan-bahan seperti itu, bahkan kalau kita teliti lebih dalam bahwa semua yang dilakukan ini adalah untuk perdagangan yang mungkin hasil yang dicapai mencapai miliaran dollar US pertahun, sekitar 20% pengguna Internet di seluruh dunia itu pasti dan tidak mungkin mengunjungi lebih dari 60000 situs seks tiap bulan dan sekitar 30 juta orang memasuki situs seks tiap harinya.

Pada persoalan cyberporn atau cyber sex, persoalan pencegahan dan penanggulangannya tidaklah cukup hanya dengan melakukan kriminalisasi yang terumus dalam bunyi pasal. Diperlukan upaya lain agar pencegahannya dapat dilakukan secara efektif. Pengalaman beberapa Negara menunjukkan bahwa kerjasama antara pemerintah, aparat penegak hukum, LSM/NGO dan masyarakat dapat mengurangi angka kriminalitas. Berikut pengalaman beberapa Negara itu:
1. Di Swedia, perusahaan keamanan internet, NetClean Technology bekerjasama dengan Swedish National Criminal Police Department dan NGO ECPAT, mengembangkan program software untuk memudahkan pelaporan tentang pornografi anak. Setiap orang dapat mendownload dan menginstalnya ke computer. Ketika seseorang meragukan apakah material yang ada di internet itu legal atau tidak, orang tersebut dapat menggunakan software itu dan secara langsung akan segera mendapat jawaban dari ECPAT Swedia.
2. Di Inggris, British Telecom mengembangkan program yang dinamakan Cleanfeed untuk memblok situs pornografi anak sejak Juni 2004. Untuk memblok situ situ, British Telecom menggunakan daftar hitam dari Interent Watch Foundation (IWF). Saat ini British Telecom memblok kira-kira 35.000 akses illegal ke situs tersebut. Dalam memutuskan apakah suatu situ hendak diblok atau tidak, IWF bekerjasama dengan Kepolisian Inggris. Daftar situ itu disebarluaskan kepada setiap ISP, penyedia layanan isi internet, perusahaan filter/software dan operator mobile phone.
3. Norwegia mengikuti langkah Inggris dengan bekerjasama antara Telenor dan Kepolisian Nasional Norwegia, Kripos. Kripos menyediakan daftar situschild pornography dan Telenor memblok setiap orang yang mengakses situ situ. Telenor setiap hari memblok sekitar 10.000 sampai 12.000 orang yang mencoba mengunjungi situ situ.
4. Kepolisian Nasional Swedia dan Norwegia bekerjasama dalam memutakhirkan daftar situs child pornography dengan bantuan ISP di Swedia. Situs-situs tersebut dapat diakses jika mendapat persetujuan dari polisi.
5. Mengikuti langkah Norwegia dan Swedia, ISP di Denmark mulai memblok situs child pornography sejak Oktober 2005. ISP di sana bekerjasama dengan Departemen Kepolisian Nasional yang menyediakan daftar situs untuk diblok. ISP itu juga bekerjasama dengan NGO Save the Children Denmark. Selama bulan pertama, ISP itu telah memblok 1.200 pengakses setiap hari.
Sebenarnya Internet Service Provider (ISP) di Indonesia juga telah melakukan hal serupa, akan tetapi jumlah situs yang diblok belum banyak sehingga para pengakses masih leluasa untuk masuk ke dalam situs tersebut, terutama situs yang berasal dari luar negeri. Untuk itu ISP perlu bekerjasama dengan instansi terkait untuk memutakhirkan daftar situs child pornography yang perlu diblok.
Faktor penentu lain dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dengan sarana non penal adalah persoalan tentang etika. Dalam berinteraksi dengan orang lain menggunakan internet, diliputi oleh suatu aturan tertentu yang dinamakan Nettiquette atau etika di internet. Meskipun belum ada ketetapan yang baku mengenai bagaimana etika berinteraksi di internet, etika dalam berinteraksi di dunia nyata (real life) dapat dipakai sebagai acuan.

Di Indonesia misalnya, sudah begitu banyak orang-orang yang menjelajahi situs seks tersebut, terlebih lagi bisa jadi apa yang dilihat dalam situs seks tersebut dapat membuat orang yang melihat ingin merasakan apa yang sudah dilihatnya tersebut, dan ingin melakukan nya dengan lawan jenis nya, apalagi kalau kita lihat dewasa ini kita sudah banyak melihat beredarnya video-video porno yang dilakukan oleh anak-anak yang bisa dikatakan masih jauh untuk melakukan perbuatan hal itu, seperti beredarnya video anak SMP dengan pasangan kekasih nya, untuk itu dalam hal tersebut pemerintah harus melakukan proteksi dengan cara yang diatas sudah dicanangkan seperti adanya kerja sama dengan pihak terkait, walaupun memang dalam karakternya di Indonesia masih saja ada yang membuka situs-situs seperti itu dikarenakan rasa keingintahuan dan kepuasan lebih, memang beberapa situs porno masih dapat dibuka, untuk itu mari sama-sama kita mendukung program pemerintah dalam memblok situs seks yang berasal dari luar negeri, intinya dalam hal ini adalah diri sendiri yang dilebihkan dalam hal ini untuk membuka suatu situs seks tersebut, kalau memang sudah bersih maka bisa dikatakan pemerintah mengalami pemrograman yang baik dalam menanggapi cyberporn ini.

Charles Guial – Philippines

Cybercrime Law: The Netizens’ Friend or Foe?

With Internet comes the word freedom. People are free to update themselves with the latest of the world events anywhere at any time, promote and transact businesses, and express their opinions. Being free is indeed a relaxing feeling for most, if not all people. We always think that by means of freedom we can already do everything that we want. But that’s not true, because real freedom means handling it responsibly. And handling it responsibly means not stepping on other’s rights. This is a common problem of us, netizens. We don’t tend to be considerate with the feelings of other people when we blog, tweet, or post a comment online. Instead, we choose to be insensitive about how can one’s actions in the Internet affect a person emotionally, and worse, psychologically. These wrongdoings, it is safe to say, are referred to as cyber bullying.
Here in the Philippines, the Republic Act No. 10175 was passed in 2012. Popularly known as the Cybercrime Law, it regulates the netizens of their activities on the Internet to prevent abusive practices done online. It immediately drew sharp criticism from Internet users complaining that their freedom of expression will be curtailed. From its passage into law, it became a controversial issue almost overnight. I could just imagine how narrow-minded Filipino netizens are. I, myself, don’t want something to be too restrictive. I know that expressing our concerns is very essential.
Our freedom of expression was already curtailed in the past, not just once but many times. The great Jose Rizal was executed by firing squad just because of his novels that called for reforms from the Spaniards’ administration of the 19th century Philippines. During World War2, Filipinos were not able to criticize the Japanese Occupation forces because doing so is tantamount to execution. Many people, including my parents, can attest how hard it is to have one’s mouth shut during the Marcos dictatorship. A lot of outspoken critics and activists of the dictatorial government were imprisoned or assassinated. But sometimes the people’s attitude is just overbearing. They need to put their feet on the other’s shoes so that they will truly know how it feels to be scandalized with libelous statements from people they don’t know. They should learn how to use their freedom of expression in a righteous manner.
On the other hand, many speculated that the implementation of this law has had a political agenda behind. A Philippine senator inserted a libel clause when it was still a bill after his reputation was marred by netizens over allegations that he plagiarized the work of several people, including the late Senator Robert Kennedy. There is this maxim that goes, “He who comes into equity must come with clean hands” Although they were just allegations, the same maxim should apply to the case of the scandal-ridden senator had they been proven. Thus, the situation will tell that the netizens were the victims. The senator shouldn’t have been the one to add the libel clause.
There is an experience that I want to share with regards to this law during the time of its passage and controversy. I am part of a university’s group on Facebook since 2011. Its members, mostly students of the learning institution, kept on posting about their staunch opposition of the law, calling for it to be abolished right away. A little, if not none, suggested for an amendment only. And it continued for weeks until something horrendous happened. A sex scandal involving one of its female students erupted on the Internet. Many other female students of the university were condemned by people in public places, taunted with lascivious remarks, laughed at, and the like. The school administration even issued an order for all of the students not to wear the school uniform for one week. The very same group members quickly voiced out their anger over the unfavorable events. Many of them cited the Cybercrime Law as a weapon against the online bashers of the university and its students. Amazing, isn’t it? The one they once branded as a horrible tormentor had become their trusted ally. It only proves that the law is not really bad at all. The netizens only have to abide by it.
We’ll just have to face it. Things such as the passage of the Cybercrime Law happen for a reason. It is already there. Anyway, we can benefit from it too. Let us just be liberal-minded and do not stick to our own side. We just have to hear the other party’s say, because to be honest there is a danger in a single-side story. It will lead to selfishness which in turn, could result to undesirable effects. What do we worry about that law? Libel? Only people with malicious intent have to be afraid of it. Only people who are so hungry of fame at the expense of others have to face the consequence. If only we are honest and watchful with our words, then there is nothing to be afraid of that law. The answer to the question whether it is the netizens’ friend or foe depends on how they control their lives on the Internet.

Sources:http://www.gov.ph/2012/09/12/republic-act-no-10175/
http://www.abs-cbnews..com/nation/09/18/12/sotto-added- libel-anti-cybercrime-law

Juliana Bassetti/@juba7 – China

 

China impede acesso à informação e manipula conteúdos na internet

Na China, os caracteres “liberdade” (自由) e “internet” (因特网) raramente são escritos juntos. Comercialmente, o governo do maior país do leste asiático enxerga a rede mundial de computadores como uma ferramenta para impulsionar o consumo, aquecer o mercado e alavancar os lucros das grandes empresas de tecnologia e de e-commerce chinesas. Porém, socialmente, o Partido Comunista da China (PCC) vê a World Wide Web como uma ameaça ao controle ditatorial que exerce sobre a nação.

De acordo com declarações do diretor do Escritório Estatal de Informações de Internet da China, Lu Wei, a internet deve ser regulamentada e controlada pelo governo. Segundo ele, a medida é necessária para garantir a “estabilidade” do país e defender os “interesses chineses”. Por meio de um sistema apelidado mundialmente como Great Firewall (alusão à Muralha da China ou Great Wall), os conteúdos considerados subversivos ou perturbadores da ordem são filtrados e impedidos de chegar até o internauta. A maior parte das notícias que circula livremente pelo país são produzidas por centrais de informações oficiais do governo, como a agência Xinhua (xinhuanet.com/english) e a China Radio International (CRI) (english.cri.cn). Outras mídias se baseiam nessas notícias como linha editorial para seus conteúdos jornalísticos.

A agência de notícias Xinhua foi fundada em 1931, inicialmente com o nome de Nova Agência da China Vermelha. Atualmente, disponibiliza conteúdo para publicações em inglês, árabe, russo, espanhol, francês, português e alemão, além do próprio chinês. Como estratégia para unificar e controlar o conteúdo divulgado sobre o país, um grupo fechado de redatores acompanha pela internet ou in loco acontecimentos nacionais e mundiais. Esse grupo redige notícias em mandarim e envia para os departamentos de língua estrangeira. O material é traduzido por chineses que, em geral, são oriundos dos cursos de letras de universidades chinesas e dominam bem um segundo idioma. Após a tradução, funcionários estrangeiros revisam e corrigem o texto para que a matéria seja publicada no site da agência. Nesse processo, tradutores, jornalistas e especialistas em línguas não possuem qualquer autonomia para alterar o texto, mesmo que dados e números estejam errados ou a versão da notícia não condiga com o fato. O que importa é a forma que os dirigentes da República Popular da China desejam propagandear a informação.

O mesmo acontece na China Radio International (CRI), onde os conteúdos também são produzidos de forma centralizada, traduzidos, gravados em estúdio e publicados na página para download, além do envio via FTP para rádios parceiras de todo o mundo. Criada em 1941, a CRI transmite hoje em 57 línguas. Entre os idiomas, estão o albanês, islandês, hauça (falado em países africanos como Gana e Camarões), suaíli (uma das línguas de Uganda e Moçambique) e até mesmo a língua artificial esperanto.

Boa parte das matérias publicadas pelas duas produtoras de conteúdo tratam de ações e declarações do presidente chinês Xi Jinping, do primeiro-ministro Li Keqiang e demais autoridades do Partido Comunista da China. Os textos deixam claro qual a posição do governo em relação a temas delicados, dando as diretrizes a serem seguidas pela imprensa nacional. Como exemplos, Xinhua e CRI publicam discursos proferidos por Xi Jinping apontando Dalai Lama como terrorista, assim como a divulgação falaciosa de que Taiwan faz parte do território chinês ou ainda a necessidade do controle governamental da internet e o perigo que os sites ocidentais podem representar ao crescimento do país.

Atualmente, a China conta com 630 milhões de internautas, a maioria sem acesso livre à internet. Aqueles que conseguem navegar em sites bloqueados fazem uso de provedores de VPN – serviço que altera o IP do computador do usuário, driblando a barreira imposta pelo Great Firewall. A lista de páginas bloqueadas é imensa, incluindo sites que são fontes de informações respeitadas mundialmente, como o do New York Times e da BBC.

O Google Search e todos os serviços Google funcionam parcialmente na China desde o junho de 2014, quando o massacre na Praça da Paz Celestial estava prestes a completar 25 anos. O buscador Baidu é o mais popular entre os chineses, mas há rumores de que site coopera com o governo, filtrando conteúdos. Lembrando que Youtube, Facebook, Twitter e, mais recentemente, Instagram também têm acesso bloqueado.

Para a jornalista da China Radio International, Mei Lee, 33 anos, a restrição de acesso a alguns sites, redes sociais e aplicativos não muda seu modo de navegar na internet, mas ela afirma que gostaria de ter uma rede mais aberta. “Não sinto falta desses sites, mas prefiro ter mais mais variedade de plataformas. Às vezes chegam informações que prejudicam os interesses nacionais, mas não vale a pena bloquear. O importante é saber filtrar a informação”, pondera. Já para Guo Hao, 23 anos, formado em Letras Português, a China está bem servida de produtos e serviços tecnológicos desenvolvidos no próprio país. O rapaz, que também faz uso de provedores de VPN, diz não sentir falta do Facebook ou Youtube: “Quando viajei para fora do país, assisti na internet vídeos sobre a China que não condizem com a realidade. Isso é ruim para o nosso país, porque é preciso manter a estabilidade”, relata. O comentário, vindo de um jovem internauta supostamente estudado e esclarecido, demonstra o quão nociva e eficaz tem sido a campanha do Partido Comunista da China de convencer a sociedade dos perigos das empresas ocidentais de internet. Usando toda sua máquina, o governo propala o discurso do medo, alegando que companhias de internet que mancham a imagem da China não podem entrar no mercado sob o risco de desequilibrar o bom andamento do país.

Prova disso é a posição de Ren Xianliang, chefe do departamento que regula o ciberespaço da China. Ele enfatiza o compromisso de livrar a web de conteúdos que considera ofensivos ou críticos. Segundo Ren, os cidadãos deveriam usar a internet para “espalhar energia positiva”.

É claro que existem chineses atentos ao que acontece dentro e fora do país. Entretanto, o ciberativismo é sufocado pelo Departamento Estatal de Informações de Internet. Autoridades forçam empresas chinesas de internet a excluir conteúdos considerados politicamente delicados. Diversos ativistas da web que não seguiram os conselhos de Lu Wei tiveram suas contas encerradas nas redes sociais chinesas. Charles Xue, que tem 12 milhões de seguidores no Weibo (o Twitter chinês) foi preso por oito meses. Após ser solto, declarou na TV que estava arrependido e que “a liberdade de expressão não pode prevalecer sobre a lei”. Falando em lei, se um conteúdo considerado falso pelos censores chineses for compartilhado mais de 500 vezes, o autor está sujeito a pagamento de multa e até mesmo prisão.

E o governo não aponta sinais de afrouxar a política de vigilância. No final de novembro de 2014, em seu discurso de abertura na Conferência Mundial de Internet (WIC, na sigla em inglês), primeira do gênero organizada pelo governo na cidade chinesa de Wuzhen, Lu Wei disse que o ciberespaço deve ser “livre e aberto, com regras a seguir e de acordo com o estado de direito”. Liberdade (自由) e regras (规则). Aí estão caracteres chineses que podem estar juntos. Paradoxo difícil de ser compreendido, tanto em mandarim quanto num texto traduzido para qualquer língua falada ao redor do mundo.

Dani – Indonesia

Antara Kebebasan Berekspresi dan Kebijakan Internet di Indonesia: UU ITE

Pemilihan umum yang baru saja berlangsung membuat mata kita terbelalak. Media internet, terutama sosial media, boleh dikata menjadi media yang paling ramai. Ketika seseorang menuliskan pendapatnya, tak lama kemudian seseorang yang lain akan segera menimpali. Grup-grup dukungan ke pihak tertentu atau sekedar kelompok diskusi bertumbuh, menjamur. Pembicaraan ringan hingga debat akademis yang berat semuanya ada. Informasi bermunculan, beredar dan tenggelam begitu cepatnya. Setiap orang memiliki kesempatan tak hanya untuk menjadi penonton pasif, tapi juga pemain aktif. Ya, ada ruang yang begitu besar untuk mengekspresikan komentar, gagasan, imajinasi, keluhan, kritikan atau bahkan makian!
Apalagi jumlah pengguna internet di Indonesia semakin meningkat pesat. Kementrian Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa pada tahun 2014, jumlah pengguna internet Indonesia mencapai posisi nomor ke-8 di seluruh dunia, dengan lebih dari 82 juta pengguna internet atau lebih dari 30 persen total jumlah penduduk Indonesia. Pengguna salah satu sosial media yang ternama di Indonesia juga mencapai lima besar di dunia. Dan, jumlah ini terus berkembang dengan cepat, menjadi penanda penghargaan atas kebebasan berekspresi dan kematangan berdemokrasi.
Memang, kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia, secara umum dilindungi di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 menyatakan, ”kemerdekaan…mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan…” Selain itu UU nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, semakin menjamin kebebasan berekspresi. Terlebih, proses reformasi yang menekankan pada demokrasi sejak 1998, telah menghasilkan suatu iklim kebebasan yang tak pernah dirasakan pada masa sebelumnya. Tentu saja, semuanya bukan tanpa batasan atau tetap ada tanggungjawab tertentu.
Akan tetapi, Undang-Undang (UU) nomor 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang muncul pada tahun 2008, memiliki kelemahannya sendiri, yang dipandang sebagai ancaman terhadap hak bebas berekspresi terutama di internet. Salah satunya adalah UU ITE pasal 27 ayat 3, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Kasus yang sangat populer dan menyedot dukungan publik di Indonesia adalah kasus Prita Mulyasari. Prita, seorang pasien dituntut telah mencemarkan nama baik karena telah menulis keluhannya atas pelayanan sebuah rumah sakit di internet. Kasus lain adalah Iwan Piliang, yang menuliskan dugaan penyuapan kepada seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan dituntut ke pengadilan. Musni Umar menulis di blog pribadinya tentang dugaan korupsi uang sekolah di sebuah SMA, dituntut dan dijadikan tersangka karena pencemaran nama baik. Alexander Aan yang membuka dan mengelola sebuah fans page and grup atheis di sosial media, dijerat, salah satunya, dengan UU ITE dan dijatuhi hukuman penjara selama 2,5 tahun. Hal yang kurang lebih sama terjadi pada Benny Handoko, Muhammad Arsyad, dan yang terbaru, Ervani Handayani. Yang menarik, mereka semua ini mengekspresikan protes atau kritik secara terbuka terhadap para penguasa yang sewenang-wenang, tetapi mereka justru yang dibawa ke pengadilan atau bahkan akhirnya dihukum.
Kasus lain yang perlu diperhatikan adalah kasus penjual sate yang dijerat oleh Undang Undang ITE karena penghinaan terhadap Presiden Jokowi melalui foto-foto berbau pornografi yang dipasang dan disebarkan melalui internet. Begitu pula, dengan seorang satuan pengamanan (Satpam) yang dituduh menghina Prabowo, tokoh masyarakat dan calon presiden yang bersaing dengan Jokowi. Keduanya akhirnya dibebaskan dengan pertimbangan dan lobi kepentingan politik. Pada kenyataannya, selama pemilu banyak sekali komentar-komentar atau ekpresi serupa yang muncul, tetapi hampir tidak ada yang dibawa ke jalur hukum. Di luar itu, banyak pula media, kelompok ataupun individu menggunakan internet untuk menyebarkan kebencian (hate speech) dan fitnah berdasar suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Akan tetapi, mereka tidak dituntut secara hukum. Semua contoh ini menunjukkan bahwa UU ITE sangat kontroversial, dimana di satu sisi ada beberapa orang yang dituntut, didakwa dan dijatuhi hukuman, tetapi di sisi lain beberapa orang lainnya dibiarkan. Proses tebang pilih ini tidak saja membuktikan kelemahan UU ITE, namun juga menyatakan bahwa UU ITE ini dapat digunakan oleh para elit atau penguasa untuk menekan masyarakat umum atau orang yang posisinya lebih lemah. Salah satu hal lain yang kurang pas dari UU ITE ini adalah ancaman hukuman maksimal yang mencapai 6 tahun, yang tidak selaras dengan undang-undang yang lainnya. Kitab Undang-udang Hukum Perdata (KUHP) menyatakan bahwa ancaman hukuman untuk kasus pencemaran nama baik hanya maksimal 9 bulan. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan besar, karena apa yang disampaikan lewat internet mendapat bobot yang lebih berat dibanding cara atau media yang lain.
Walaupun UU ITE juga memiliki tujuan untuk mencegah penyalahgunaan internet dan teknologi informasi serta mendorong untuk lebih sopan dan santun dalam berekspresi, namun secara realita UU ini memberi banyak masalah, terutama dengan munculnya kasus-kasus hukum yang memberangus kebebasan berekspresi dan hak untuk mengeluarkan pendapat. Menurut data Information, Comunication, and Technology (ICT) Watch, sejak 2008 hingga November 2014 sudah ada 71 kasus yang berakhir pada hukuman penjara karena dijerat UU ITE. Bila jumlah ini semakin besar, maka masyarakat akan takut untuk memberikan komentarnya dan mencegah mereka untuk memberikan kritik pada para penguasa lewat internet. Akhirnya ini akan melemahkan daya kritis masyarakat. Dalam situasi seperti ini, maka demokrasi dan hak-hak asasi manusia yang lain juga pasti terancam.

 

Start the conversation

Authors, please log in »

Guidelines

  • Please treat others with respect. Comments containing hate speech, obscenity, and personal attacks will not be approved.